Selamat Datang di Blog Resmi Komunitas Blogger dan Netters Nunukan Kalimantan Timur

Komunitas Blogger & Netter's Nunukan

- Blogger - Friendster - Forum Nunukan - Ikatan Pelajar & Mahasiswa Nunukan - Nunukan News
Back To Nature, Save Our Forest Now and Stop Global Warming
www.blogger-nunukan.blogspot.com


Sabtu, 21 Maret 2009

Demokrasi dan Kebahagiaan

Demokrasi dan Kebahagiaan
Oleh
Jose Marwan

Ukuran kebahagiaan memang subjektif, tetapi kehadiran kebahagiaan itu sebenarnya objektif, karena kebahagiaan itu ada, dan setiap orang bisa merasakannya. Sama seperti analogi dingin, meskipun tiap orang memiliki ukuran yang berbeda tentang rasa dingin, tapi dingin itu sendiri ada. Kebahagiaan, semestinya bisa diukur, karena akumulasi kebahagiaan individu akan membentuk kebahagiaan sosial. Jika masing-masing individu di negeri ini merasa bahagia dengan ukurannya masing-masing maka bisa diringkaskan kalau seluruh rakyat bahagia. Pertanyaan yang menarik, sampai sejauh mana bangsa kita ini mencapai kulminasi kebahagiaan? Sejauh mana demokrasi, kendaraan ideologi yang kita naiki sekarang, membawa kita ke istana kebahagiaan? Apakah hiruk-pikuk pesta demokrasi sinonim dengan pesta kebahagiaan? Pertanyaan ini menggelitik untuk dijelajahi, mengingat kebahagiaan (eudemonia), mengutip Aristoteles (384-322 SM), adalah tujuan dari segala tujuan kehidupan. Kita bisa senang dan puas dengan apa yang kita miliki, tetapi belum tentu bahagia. Rasa senang dan puas hanya jembatan menuju pulau yang bernama bahagia. Mengutip kebijaksanaan Bhagavad-Gita, kebahagiaan adalah ketika seseorang mencapai “sannyasin”, yakni kondisi di mana “seseorang yang tidak membenci ataupun mencintai apapun juga”. Dalam bahasa Aristoteles, ini adalah pemahaman kebahagiaan pada level kontemplatif. Sementara itu, secara politik, kebahagiaan juga merupakan tujuan yang harus diraih. Kegiatan berpolitik, juga harus secara bergairah mengarahkan semua orang yang terlibat, kepada pencapaian kebahagiaan. Aristoteles menulis bahwa politik adalah salah satu pola hidup terbaik untuk mewujudkan kebahagiaan, di samping pola hidup kontemplatif dan hedonis. Politik adalah jalan mencapai kebahagiaan, bukan semata-mata jalan mencapai kekuasaan. Dalam alur pikir ini, demokrasi yang kita bangun pun harus bermuara pada peningkatan kadar kebahagiaan rakyat, bukan sebaliknya, menjadi sumber derita baru bagi masyarakat.

Kebahagiaan Bisa Berpartisipasi Politik
Siddharta Gautama memberi pengertian kebahagiaan (pencerahan) dalam arti negatif: Tidak adanya penderitaan (dukkha). Dukkha, secara etimologis, berasal dari bahasa Pali, yang menunjuk pada pengertian poros yang agak melenceng dari rodanya, atau tulang yang tergelincir dari persendiannya. Secara intepretatif, kita bisa katakan, sebuah bangsa yang melenceng dari rel roda konstitusinya, atau meleset dari persendian peradabannya, maka bangsa ini akan mengalami apa yang disebut derita, ketidak-bahagiaan. Demokrasi adalah sebuah pertaruhan besar bagi bangsa ini, sebab secara aklamasi kita pilih sebagai kendaraan ideologi menuju kebahagiaan. Sejauh mana demokrasi sudah membuat kita mencapai level kebahagiaan? Profesor Bruno Frey dan Alois Stuzer dalam Happiness, Economy and Institutions (1999) pernah melakukan penelitian di Switzerland dengan 6.000 responden, bagaimana kontribusi demokrasi terhadap tingkat kebahagiaan warga di sana. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa semakin luas partisipasi politik warga negara, mereka akan semakin bahagia. Bahkan, ketika harus dibandingkan, antara kebahagiaan karena memiliki pendapatan (income) yang berlimpah dengan kebahagiaan ketika bisa berpartisipasi secara politik, responden itu menjawab, mereka lebih bahagia karena bisa berpartisipasi secara politik. Rupanya, berpartisipasi secara politik mempunyai nilai ekspresif, sebab di sana kita bisa mengatakan kepada dunia, siapakah diri kita ini dan apa yang kita anggap penting. Dalam pemilu, banyak pemilih yang sadar kalau satu suara nyaris tidak memiliki nilai penting secara instrumental terhadap perbedaan hasil pemilu. Namun, mereka tetap saja mau repot-repot berjalan jauh, mengantre di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tetap saja orang memberikan suaranya karena mau mengatakan kepada orang lain, siapa mereka. Hal kedua yang juga ditemukan oleh Frey dan Stuzer, semakin aktifnya warga negara, akan mempermudah mereka terlibat dalam demokrasi dan mengontrol elite politik sehingga keputusan pemerintah akan semakin dekat dengan harapan masyarakat. Kebahagiaan, pada level terendah, adalah bertemunya keinginan (leisure principle) dengan realitas (reality principle). Herbet Marcuse, dalam bukunya One-Dimensional Man (1964) mengkhotbahkan ketidakmungkinan prinsip keinginan dan kenyataan itu bersatu dalam masyarakat kita, sehingga yang tersisa adalah manusia-manusia satu dimensi, yang hanya bisa berharap, tetapi tak menemukannya dalam realitas politik-sosial kehidupan sehari-hari. Perjumpaan Harapan dan Realitas Kekecewaan-kekecewaan ini direpresi dan akhirnya membentuk budaya dengan harapan dan keinginan yang palsu (false need). Namun, justru di sinilah tantangan sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis, merekonstruksi jalan supaya harapan rakyat ketika memilih mereka, terealisasi selama periode lima tahun jabatan para wakil ini. Tugas para wakil rakyat adalah membuat perjumpaan harapan dan realitas itu mungkin terjadi. Dalam tataran ini, jalan setapak menuju kebahagiaan terbuka lebar. Dalam bahasa yang lugas, Aristoteles mengondisikan kebahagiaan ketika manusia mampu merealisasikan potensi-potensi yang dimiliki sebagai manusia. Dalam bahasa lain di Etika Nikomacheia, Aristoteles menulis, “semakin bermutu hidup manusia, semakin ia bahagia”. Ungkapan ini bisa menjadi telaah kritis bagi kita, sejauh mana rakyat kita mampu merealisasikan potensi-potensi yang mereka miliki. Sejauh mana kehidupan mereka semakin bermutu? Sejauh mana proses politik demokrasi di negara ini sudah memberi fasilitas dan kendaraan yang nyaman bagi bertumbuhnya unsur-unsur kebahagiaan? Jangan-jangan demokrasi yang sedang kita jalankan ini justru menjadi antitesis kebahagiaan, yakni ketika demokrasi yang kita hidupi tidak mengenyangkan perut, dan tidak memberikan ruang partisipasi yang tulus kepada rakyat karena terjebak politik pencitraan semata. Jangan-jangan kita sedang menjalankan sebuah demokrasi yang muram, yang tidak menciptakan senyum di wajah rakyat kita. Sebuah kata-kata bijak mengatakan “Money talks but democracy makes you smile”.
Mari kita renungkan!

Penulis adalah jurnalis media elektronik.

Tidak ada komentar:

Mari Membangun Dengan Menghormati Hak-Hak Rakyat dan Hak-Hak Alam