Selamat Datang di Blog Resmi Komunitas Blogger dan Netters Nunukan Kalimantan Timur

Komunitas Blogger & Netter's Nunukan

- Blogger - Friendster - Forum Nunukan - Ikatan Pelajar & Mahasiswa Nunukan - Nunukan News
Back To Nature, Save Our Forest Now and Stop Global Warming
www.blogger-nunukan.blogspot.com


Sabtu, 21 Maret 2009

Mengeruk Keuntungan dari Politik Kemiskinan

Mengeruk Keuntungan dari Politik Kemiskinan
Edy Firmansyah

Dampak krisis global yang menerpa Indonesia menyebabkan upaya meminimalkan angka kemiskinan terhambat. Pada tahun 2009, jumlah warga miskin diperkirakan naik menjadi 33,714 juta jiwa, lebih tinggi dari target pemerintah (32,38 juta jiwa). Jumlah 33,714 juta orang miskin itu setara dengan 14,87 persen jumlah penduduk Indonesia. Artinya kemiskinan meningkat dari rencana yang ditetapkan APBN 2009, yakni 14 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tersebut ditegaskan, tepat pada akhir jabatan Yudhoyono-Kalla (2009) kemiskinan ditargetkan 8,2 persen. Namun, RPJM mengenai penanggulangan kemiskinan itu meleset jauh. Ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan dengan kondisi kemiskinan di atas. Yang paling dirugikan tentu saja pemerintah. Pemerintah kini menjadi sasaran tembak kampanye politik yang digelar parpol, caleg dan capres yang hendak bersaing dalam Pemilu 2009. Pemerintah dinilai gagal mengatasi kemiskinan. Padahal, pemerintah sudah meluncurkan konsep tiga kluster untuk menanggulangi kemiskinan. Pertama, pertolongan bagi rakyat miskin yang sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar, seperti bantuan langsung tunai (BLT). Kluster kedua, program kredit usaha rakyat (KUR) untuk memastikan agar penduduk miskin tidak kian miskin. Dan yang terakhir, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, seperti infrastruktur atau pengembangan usaha (kredit simpan pinjam). Namun, dalam perkembangannya ketiga kluster tersebut justru tidak efektif menekan angka kemiskinan. Dalam BLT, misalnya, masih banyak para penerima dana tersebut justru orang-orang yang mampu. Meskipun beberapa di antaranya tepat sasaran, uang BLT justru kerap digunakan untuk memenuhi dahaga konsumerisme (membeli barang-barang elektronik seperti HP) daripada memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu, KUR sering mangkrak karena peminjam kerap tidak mampu mengembalikan. Sedangkan PNPM yang dianggap program prioritas pemerintah, justru hanya berkutat di infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan. Bahkan, oleh para kepala desa dan birokrat daerah, dana PNPM sering jadi “bancaan” karena dianggap program politik Yudhoyono-Kalla untuk pemenangan Pemilu 2009. Karenanya tak heran ada wilayah yang justru menolak program ini. Bergembira dengan Kemiskinan Harus diakui ada segelintir orang yang bergembira jika penduduk miskin di negeri ini kian banyak. Mereka adalah para elite politik yang hendak bertarung dalam merebut kursi kekuasaan baik di legislatif maupun kursi “panas” presiden. Ada dua keuntungan dari melonjaknya angka kemiskinan di negeri ini kaitannya dengan politik menjelang pemilu. Pertama, para caleg dari partai non-incumbent memiliki sasaran tembak untuk menjatuhkan citra caleg dan capres dari incumbent tentang kegagalan sosial-ekonominya. Kedua, dengan jumlah penduduk miskin yang banyak, tingkat pendidikan rendah, angka buta aksara tinggi, institusi sosial-politik lemah, demokrasi gampang dimanipulasi oleh elite-elite politik oportunis dan pemimpin despotik yang menawarkan janji-janji populis agar bisa terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen atau pejabat pemerintahan. Namun, setelah terpilih terbukalah kedok aslinya, bahwa tujuan para elite politik dan para pemimpin despotik itu merebut kekuasaan tak lain hanya untuk kepentingan pribadi (memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, demokrasi tak ubahnya “mesin pencetak uang” untuk membeli suara dalam pemilu sehingga proses manipulasi demokrasi berlangsung mengikuti kalender lima tahunan. Jangan harap lahir pemimpin yang memiliki sense of crisis dan kepedulian pada rakyat. Sebab dari model demokrasi yang demikian yang lahir hanyalah para elite politik, birokrat dan intelektual yang menghamba pada pasar. Mereka berlomba-lomba menguasai segala sumber daya kapital, membangun jaringan untuk kepentingan pasar dan mengambil kebijakan yang melancarkan proses akumulasi modal tanpa peduli dampak itu semua bagi masyarakat miskin. Di samping itu, kaum miskin adalah kaum yang paling mudah dimobilisasi untuk tujuan-tujuan politis. Cukup diimingi-imingi uang dan sembako, kaum miskin yang awalnya tenang dan pasrah, bisa jadi beringas dan banal.

Pendidikan Politik

Karena itu, kampanye-kampanye politik yang mengerahkan massa yang rata-rata dari golongan kelas bawah memiliki potensi konflik dan chaos. Tegasnya kaum miskin hingga saat ini masih menjadi objek politik partai. Bahkan, partai politik yang dicitrakan sebagai partai rakyat kecil “sengaja” tidak mengembangkan pendidikan politik bagi massa pendukungnya. Artinya kaum miskin memang harus jadi tumbal dari politik kemiskinan.
Padahal, kita tahu dengan sistem pemilihan yang kian rumit masyarakat miskin yang kebanyakan buta huruf dan buta politik, hak-hak politik mereka semakin mudah direkayasa. Semisal penggelembungan data pemilih, intervensi kepala desa agar penduduk di wilayahnya mencoblos atau mencentang salah satu caleg, parpol dan capres “pesanan”, serta kecurangan-kecurangan lainnya akan masih mendominasi pada Pemilu 2009 ini. Karenanya kaum miskin harus dicerdaskan secara politik. Untuk itu mendesak segera dibangun kantong-kantong massa alternatif untuk pendidikan politik. Mahasiswa dan gerakan-gerakan radikal yang saat ini tengah mati suri segera membangun lagi gerakannya di tingkatan grass root. Sektor tani, buruh dan kaum miskin kota harus diarahkan untuk menjadi kekuatan gerakan rakyat yang progresif dan diarahkan untuk menjadi pemilih-pemilih progresif. Mereka harus disadarkan bahwa suara rakyat adalah spirit utama demokrasi. Media penyaluran suara rakyat tidak melulu berkiblat pada pemilu lima tahunan. Artinya, ketika tak ada satu pun calon yang memiliki kredibilitas dan visi yang prorakyat, maka seorang pemilih progresif punya hak politik untuk tidak memberikan suaranya. Artinya pendidikan politik yang berhasil adalah manakala pemilih bisa menentukan pilihannya untuk tidak seragam dengan orang lain. Dengan bekal kecerdasan politik inilah kaum miskin memiliki bargaining potition (posisi tawar) yang tinggi dalam demokrasi.

Penulis adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Penulis lepas media lokal maupun nasional.

Tidak ada komentar:

Mari Membangun Dengan Menghormati Hak-Hak Rakyat dan Hak-Hak Alam