Selamat Datang di Blog Resmi Komunitas Blogger dan Netters Nunukan Kalimantan Timur

Komunitas Blogger & Netter's Nunukan

- Blogger - Friendster - Forum Nunukan - Ikatan Pelajar & Mahasiswa Nunukan - Nunukan News
Back To Nature, Save Our Forest Now and Stop Global Warming
www.blogger-nunukan.blogspot.com


Selasa, 24 Februari 2009

Kekayaan yang Jadi Kutukan

Kekayaan yang Jadi Kutukan
Kompas : Selasa, 24 Februari 2009 | 11:26 WIB

M Zaid Wahyudi

Sumber daya alam yang melimpah tak selamanya memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, bisa juga menjadi sumber bencana bagi mereka yang hidup saat ini ataupun bagi generasi mendatang. Jalil Saleh (46), nelayan Desa Bukit Tinggi, Malifut, Halmahera Utara, tidak mengetahui kenapa udang-udang halus sebagai bahan baku terasi yang menjadi sumber utama penghidupannya berkurang drastis. Hal itu terjadi sejak beroperasinya perusahaan asing yang menambang emas di desanya. Dulu, udang cukup diambil di pesisir pantai. Sekarang, meski sudah mendayung sampan hingga ke tengah laut, udang-udang halus itu sulit ditemukan. Laut hanya menyisakan ikan-ikan kecil yang tak memiliki nilai jual.Hilangnya sumber penghidupan tersebut juga dialami Nuh Tatop (65), nelayan Desa Tabobo, Malifut. Kini penghasilannya hanya bertumpu pada hasil kebun yang tak seberapa. "Ada perusahaan pertambangan besar di desa kita, tetapi tingkat pengangguran tinggi. Perusahaan lebih banyak mempekerjakan orang dari luar desa," katanya. Selain udang, ikan teri atau ngafi yang pernah menjadi produk perikanan utama Teluk Kao juga hilang. Ribuan bagan penangkap ikan teri yang dulu bertebaran di sepanjang pesisir teluk kini nyaris tak tersisa. Tokoh masyarakat Desa Balesosang, Malifut, Pdt Yantje Namotemo, menambahkan, saat konflik sosial berkecamuk di seluruh Maluku, masyarakat banyak yang mengungsi. Saat itulah perusahaan pertambangan beroperasi di daerahnya. Ketika masyarakat kembali ke desa, teri-teri itu sudah tak ada lagi.

Dampak pertambangan
Karena laut tak dapat diandalkan, masyarakat beralih profesi menjadi petani kebun. Singkong, pisang, dan kelapa menjadi andalan setelah cengkeh dan pala yang bernilai jual tinggi musnah selama konflik.
Ketua Posko Pengaduan Organisasi Rakyat Bukit Tinggi, Malifut, A Muis Haruna, mengatakan, pertambangan tak hanya menghilangkan sumber pendapatan warga, tetapi juga membawa penyakit baru yang belum pernah ada di daerah mereka. Sebagian masyarakat menderita gatal dan benjolan pada kulit, mirip yang dialami masyarakat Buyat, Sulawesi Utara. Penyakit itu dialami warga akibat menggunakan air sungai yang diduga menjadi tempat perusahaan pertambangan emas tersebut membuang limbah. Padahal, air sungai itu merupakan sumber kehidupan masyarakat, untuk mencuci ataupun mandi. Namun, warga tak punya bukti penyebab berbagai penyakit aneh tersebut adalah limbah penambangan emas. Terlebih lagi, penelitian universitas terkemuka di Yogyakarta atas permintaan DPRD Maluku Utara menyebutkan tak terjadi pencemaran di perairan Teluk Kao. Kehadiran pertambangan juga memberikan masalah sosial baru seiring masuknya penambang ilegal yang umumnya dari Sulut dan Gorontalo. Selain membawa gaya hidup dan budaya baru, keberadaan penambang emas ilegal itu juga menimbulkan kecemburuan sosial. Warga setempat umumnya hanya menjadi kuli pengangkut batuan yang mengandung emas dari gunung untuk diolah di tepi pantai dan hanya pada masa-masa tertentu. Menurut Sabri Adam, Kepala Desa Matsa, Malifut, perusahaan pertambangan memang memberikan dana pengembangan masyarakat bagi desa-desa di sekeliling lokasi pertambangan. Tahun 2008 Desa Matsa bersama 21 desa lain di sekitar pertambangan mendapat dana pengembangan Rp 163 juta. Yantje menambahkan, awalnya kehadiran perusahaan tambang memberi harapan membawa kesejahteraan masyarakat yang baru berkonflik. Namun, selama 10 tahun perusahaan beroperasi nasib masyarakat tetap tak berubah. "Kita hidup dikaruniai kekayaan alam, tetapi masyarakat masih tetap miskin. Kekayaan itu hanya menyisakan malapetaka dan menjadi kutukan bagi anak cucu kita," katanya.

Tak berimbang
Ketidakadilan pemanfaatan hasil alam tak hanya terjadi antara masyarakat dan kepentingan kapital. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun sering kali "naik-turun" akibat pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam yang dinilai merugikan daerah penghasil.
Sebagai provinsi yang 92,4 persen wilayahnya berupa laut, Maluku memiliki potensi perikanan luar biasa. Dari 6,24 juta ton potensi perikanan nasional per tahun, Maluku menyumbang 1,64 juta ton atau 26,3 persennya. Maluku memiliki tiga dari sembilan wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia, yaitu Laut Arafura, Laut Banda, dan Laut Seram. Walaupun Maluku menjadi penyumbang terbesar penghasilan negara sektor kelautan dan perikanan, pembagian atas hasil laut itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak adil dan tak berimbang. Mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Romelus Far Far mengatakan, sebanyak 20 persen Penerimaan Negara Bukan Pajak dari perikanan dan kelautan diperuntukkan bagi pemerintah pusat. Sisanya, sebanyak 80 persen, dibagi untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia secara sama rata. Artinya, daerah yang tak memiliki laut dengan daerah penghasil perikanan dan yang memiliki laut luas sama-sama memperoleh bagi hasil kelautan dan perikanan yang sama. Kondisi ini berbeda dengan kabupaten/kota penghasil minyak bumi dan gas yang mendapat bagi hasil lebih besar daripada daerah yang tak memiliki ladang migas. "Walau berhak mengelola antara 4 mil dan 12 mil laut serta bertanggung jawab atas kelestarian sumber daya perikanan laut, pemerintah provinsi tak kebagian apa-apa. Penerimaan pemerintah provinsi hanya berasal dari sejumlah retribusi dan pemberian izin kapal berbobot mati 10-30 ton," katanya. Oleh karena itu, Romelus berharap pembagian penerimaan negara dari sektor perikanan dan kelautan dipilah berdasarkan sumbangan dan tanggung jawab setiap daerah. Selain tak akan menyakiti daerah penghasil, daerah yang tak memiliki laut pun tetap dapat menikmati hasil kekayaan laut Indonesia. *

Baca Selengkapnya......

Minggu, 08 Februari 2009

Abdul Wahab Kiak : Prihatin Alih Fungsi Hutan


Berbagai konflik lahan yang muncul di Kabupaten Nunukan salah satunya disebabkan alih fungsi hutan yang dilakukan tanpa prosedural.

PRIHATIN. Itu jawaban yang muncul dari Abdul Wahab Kiak, Wakil Ketua DPRD Nunukan ketika ditanyakan soal beberapa kasus lahan yang sedang dialami masyarakat Nunukan. Konflik yang paling sering terjadi adalah antara perusahaan dengan kelompok tani di kawasan Simenggaris dan Sebuku.

”Jujur ya, konflik lahan itu muncul karena kebijakan yang tumpang tindih. Ada yang dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Semua merasa sebagai yang punya hutan,” kata Wahab.

Kalau mengacu pada Undang-undang, kata Wahab, hutan adalah ’wilayahnya’ Menteri Kehutanan. Semua aktivitas di atasnya, mulai penguasaan lahan sampai penebangan kayu izinnya dari Menteri Kehutanan. Sedangkan pemerintah daerah, kata Wahab, tidak punya wewenang kecuali berupa rekomendasi seperti izin lokasi. ”Masalahnya, walaupun hutan itu punya Menhut, tapi di daerah disuruh menjaganya. Dephut tidak mampu menjaga hutan sehingga mudah dirambah orang,” kata Wahab.
Karena hutan menjadi wilayah ’kekuasaan’ Menhut, maka pemerintah di daerah tidak bisa semena-mena memperlakukan kawasan hutan. Misalnya mengatasnamakan kepentingan rakyat, lalu mengizinkan membuka lahan hutan. ”Kawasan hutan di Nunukan sudah diatur peruntukkannya berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kalau aturan itu ditabrak begitu saja, maka sudah terjadi penyalahgunaan wewenang,” ujar Wahab. Ia mencontohkan beberapa kasus alih fungsi hutan yang terjadi di daerah itu. Misalnya pemberian izin perkebunan kepada empat perusahaan di kawasan Simenggaris, yakni PT Nunukan Jaya Lestari (NJL 17.413 hektare), PT Sebakis Inti Lestari (SIL 20.000 hektare), PT Sebuku Inti Plantation (SIP 20.000 hektare) dan PT Pohon Emas Lestari (PEL 3.000 hektare).

Kemudian juga hutan lindung Nunukan yang telah dibebani aktivitas proyek pembangunan jalan serta pembangunan pencetakan sawah di Sembakung. ”Semua itu mengalami peralihan fungsi hutan. Ada kerugian negara karena kayu tegakan sudah ditebang,” ujarnya. Sebagai pimpinan di dewan Wahab Kiak mengakui kurang memahami mengapa muncul kebijakan alih fungsi hutan di daerah itu. Padahal kebanyakan yang dialihfungsikan masih berstatus KBK (kawasan budidaya kehutanan) di mana kayunya masih potensial secara ekonomis. ”Apalagi, saat ini yang saya ketahui usulan RTRW untuk seluruh Kaltim ditolak oleh pemerintah pusat. Jadi, RTRW yang tahun lalu diupayakan perubahannya oleh para bupati dan walikota se-Kaltim tidak bisa dipakai. Nah, bagaimana nasib warga yang telah terlanjur melakukan aktivitas ekonomi di lahan-lahan yang dialihfungsikan,” ujar politisi dari PDI Perjuangan ini. *ch siahaan, adver

Sumber : www.bongkar.co.id / Edisi : Jumat, 06 Februari 2009 11:49

Baca Selengkapnya......

Jumat, 06 Februari 2009

Mari Beraksi Lindungi Hutan Selamatkan Iklim


Mari Beraksi Lindungi Hutan Selamatkan Iklim


Negara-negara dengan laju penggundulan hutan (deforestasi) terbesar di dunia seperti Indonesia, Brasil dan Kongo menjadi faktor pendorong emisi gas-gas rumah kaca (GRK) serta mempercepat dampak berbahayaperubahaan iklim yang telah kita rasakan. Indonesia kehilangan hutan lebih cepat dari negara-negara pemilik lain di dunia. Merujuk data FAO (2006), hutan Indonesia berkurang 1,8 juta hektar per tahun, menempatkan Indonesia menduduki peringkat ketiga negara pengemisi gas-gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan China. Penggundulan hutan (deforestasi) adalah sumber utama emisi Indonesia.

Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan tigaperempat luas kawasan hutan alamnya (sekitar 72%) dan dari jumlah tersebut 40% telah hilang sama sekali.

Faktor utama pendorong tingginya deforestasi di Indonesia adalah pembalakan skala besar untuk industri kertas, kayu, pembukaan lahan gambut untuk perluasaan kelapa sawit dan kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun untuk pembukaan hutan. Banjir, kekeringan, perubahan pola iklim akan mempengaruhi ketahanan pangan yang salah satunya disebabkan hancurnya hutan di Indonesia.

Moratorium tidak hanya membantu menghentikan emisi GRK, tetapi juga melindungi keanekaragamanhayati, melindungi kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan di seluruh Indonesia.

Sekitar 30000 orang masyarakat Indonesia telah bergabung bersama kami sebagai Pembela Hutan Indonesia atau Forest Defenders Indonesia (FDI). Ayo, bergabung bersama kami untuk mendesak Presiden menetapkan secepatnya moratorium deforestasi.

Sumber :http://www.greenpeace.org/seasia/id/petisi-untuk-hutan-indonesia


Baca Selengkapnya......

28 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dimutasi, Azis dan Abd Kadir Diberhentikan Sementara

Jumat, 6 Februari 2009
Hafid: Jabatan Baru Adalah Amanah
Azis dan Abd Kadir Diberhentikan Sementara
Sumber : Radar Tarakan Online

NUNUKAN-Gerbong mutasi di Pemkab Nunukan bergerak lagi. 28 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dimutasi kemarin. Sanusi yang semula menjabat sebagai Kabag Pembangunan, kini menjadi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Khotaman yang awalnya Kabid Bina Marga di Dinas PU, kini menjabat sebagai Sekretaris DPU.

Bagaimana dengan Kepala Satpol PP Abd Kadir dan Kadis PU Nunukan Azis Muhammadiyah? Untuk saat ini, keduanya yang masih berurusan dengan kepolisian diberhentikan sementara. Menurut keputusan Bupati Nunukan tertanggal 4 Februari 2009, saat ini status mereka hanya pelaksana pada Setda Kabupaten Nunukan. Sementara Petrus Baco yang awalnya Kasubag Keuangan Dinas Pendidikan, kini menjadi Pelaksana Pada Dinas Pendidikan. “Beliau sedang sakit,” kata salah seorang narasumber. Selamet Riyadi yang awalnya Kabid Diklat di BKDD Nunukan, sekarang menjabat sebagai Kabag Pembangunan, menggantikan posisi Sanusi. Sedangkan yang menggantikan posisi Khotaman, yakni Abdul Halid yang sebelumnya Kabid Penataan Ruang di DPU. Ibrahim Nur Aslam yang semula Kasi Penanganan Kebersihan Lingkungan pada Bidang Kebersihan di DKPPK, kini memangku jabatan Lurah Selisun Kecamatan Nunukan Selatan.

Dari pantauan koran ini, ada salah seorang PNS yang kerap kali dimutasi. Bahkan jika dihitung, sudah lebih dari 5 kali ia di mutasi. Sebaliknya, ada seorang PNS lain yang bahkan baru sekali ini mengikuti pelantikan, padahal sudah beberapa kali dimutasi. “Pelantikan ini merupakan kelanjutan dari pelantikan pejabat pada 9 Oktober 2008 lalu, sebagai implementasi PP 41/2007. Mengingat masih ada pejabat yang telah diberikan amanah, tapi baru mengikuti pelantikan hari ini,” kata Bupati Nunukan H Abd Hafid Achmad yang memimpin langsung proses pelantikan. Ia menegaskan, pengambilan sumpah jabatan bagi pejabat struktural yang dilaksanakan hari ini merupakan konsekuensi logis dan merupakan suatu hal biasa dalam organisasi pemerintahan. “Untuk mengisi formasi jabatan yang telah dibentuk, dinamisasi dan penyegaran fungsi organisasi itu perlu,” jelasnya.

Ia menambahkan, sesuai peraturan berlaku, pelantikan pejabat ini semakin mempertegas, pejabat yang dilantik sudah sah melaksanakan tugas dalam jabatannya. “Bagi yang telah dipilih menduduki suatu jabatan, namun belum dilantik atau tidak siap dilantik, secara hukum dianggap belum sah melaksanakan tugas,” tandasnya. Konsekuensinya, pejabat tersebut belum bisa menerima segala bentuk tunjangan. Termasuk tunjangan tambahan penghasilan yang berkaitan dengan jabatan yang disandangnya. “Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan ini merupakan sebuah amanah. Harap diingat dan direnungkan. Saya telah melantik saudara-saudara, maka saudara harus menunaikan tugas sebaik-baiknya,” imbuhnya. Pelantikan ini dihadiri Wabup Kasmir Foret, Sekkab Zainuddin HZ, para asisten, serta kepala dinas dan bagian di lingkungan Pemkab Nunukan. (dew)

Baca Selengkapnya......

Selasa, 03 Februari 2009

Terlibat, Oknum Pemerintah (Juga) Ikut-Ikutan.....

Jum'at, 30 January 2009
sumber : www.korankaltim.com

NUNUKAN - Maraknya perambahan hasil hutan, khususnya kayu membuat Wakil Ketua DPRD Nunukan Abdul Wahab Kiak angkat bicara. Menurutnya, tidak adanya Polisi Hutan (Polhut) membuat masyarakat dan sejumlah pihak swasta bahkan oknum pemerintah semena-mena membawa kayu keluar dari hutan untuk diperjualbelikan. Tak hanya dari kawasan KBNK, tapi juga KBK, bahkan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Belum lagi jatanya, sejumlah oknum di lingkungan Pemkab Nunukan ikut bermain dengan melakukan penjarahan kayu tanpa dilengkapi dokumen resmi. Indikator-indikator itu katanya, sudah cukup untuk membentuk Polhut dibawah Dinas Kehutanan (Dishut).
Jika tak sera dibentuk, ia khawatir kawasan hutan di Nunukan beberapa tahun ke depan hanya tinggal kenangan. Sebab, ia melihat selama ini tak ada itikad baik dari Pemkab Nunukan untuk menyelamatkan hutan. Justru penjarahan terlihat dibiarkan.
"Tidak adanya Polhut membuat sistem pengawasan terhadap penjarahan hutan lemah dan memberi andil besar dalam kelangkaan kayu di Nunukan. Seharusnya Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltim segera membentuk Polhut," ujarnya kepada Koran Kaltim. Dengan APBD yang terbatas, menurutnya kecil kemungkinan Dishut Nunukan membentuk Polhut tanpa ada bantuan dari provinsi. Meskipun, saat ini Wahab melihat kinerja kepolisian dalam menindak eksploitasi kayu keluar dari hutan sudah sangat baik, tapi akan lebih baik jika ada petugas khusus yang menjaga keberadaan hutan di Nunukan. "Meskipun ada polisi, tapi wilayah kerja dan jumlah personil mereka terbatas dibandingkan luas kawasan hutan. Alangkah baiknya Polhut berdiri sendiri untuk mengawasi penjarahan kayu hutan secara bebas dan ilegal," tandasnya.

Jika membandingkan dengan luasnya kawasan hutan di Nunukan beberapa dekade lalu dengan saat ini, Wahab menilai sangat perlu dibentuk aparat khusus. “Meskipun luasan hutan sudah berkurang, namun untuk mencegah deforetrasi dan degradasi hutan menjadi semakin cepat, perlu sistem pengawasan melekat. Jika Polhut tidak segera dibentuk, bukan mustahil penjarahan hutan akan terus berlangsung dan menambah lama kelangkaan kayu yang saat ini sudah cukup parah di Nunukan," pungkasnya Sejumlah perusahaan kayu asal Malaysia diduga juga ikut terlibat penjarahan itu. Berdasarkan citra satelit terakhir diperoleh gambaran jelas, jalur jalan logging dari perusahaan kayu Malaysia telah memasuki atau mendekati wilayah Indonesi, terutama di belasan lokasi sekitar TNKM. Citra satelit Landsat 7 Edhanee Thermative Mapper (LTM) akhir tahun lalu memperlihatkan, ribuan meter jalan perusahaan kayu Malaysia berkelok-kelok memasuki wilayah Indonesia. Sekurangnya terdapat 18 lokasi jalan yang melanggar perbatasan serta belasan lainnya bahkan mulai mendekati wilayah perbatasan, di radius 1-2 kilometer dari teritorial Indonesia. Terutama di Krayan Darat dan Huku yang masuk wilayah Nunukan. Ironisnya, sejumlah oknum di lingkungan Pemkab Nunukan disinyalir ikut terlibat, namun, sejauh ini belum didapat kepastian soal kebenarannya. Tetapi, kasus terakhir, di mana Kasatpol PP Nunukan Abdul Kadir harus mendekam di sel tahanan Polres Nunukan bersama 2 bawahannya, Suhedi Tiranda dan M Hadir karena membawa kayu yang diduga ilegal di Komplek Perumahan Sedadap menjadi bukti, masih ada oknum di pemerintahan ang terlibat dalam kasus illegal logging.

Baca Selengkapnya......

Lagi, DPRD Sesalkan Bupati

* Selasa, 02 September 2008
* Sumber : www.bongkar.co.id

Semakin banyak saja kegiatan proyek oleh Pemerintah Kabupaten Nunukan yang mengecewakan. Kali ini, gedung KNPI berbiaya Rp7,054 Milyar. Maksud hati membuat gagah para pemuda yang ada di kota perbatasan Nunukan – Tawau (Indonesia – Malaysia). Tetapi apa daya, organisasi pemuda di daerah itu mengalami ’lesu darah’, sehingga pembangunan Graha Pemuda yang mewah terkesan hanya mubazir saja. Kritikan itu dialamatkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPRD Nunukan, Haji Hermansyah, bersama Sekretaris Komisi III DPRD Nunukan Kornalius Tadem. ”Bangunan itu sayang. Untuk apa dibangun kalau organisasinya tidak jalan,” kata Kornelius. Menurutnya, gedung dibangun seperti itu, sementara organisasai KNPI itu di Nunukan masih berjalan di tempat. ”Hemat saya, setelah pergantian pengurus KNPI, tidak ada kegiatannya lagi sama sekali,” kata Kornalius.Ketidakaktifan pengurus KNPI Nunukan, kata Kornalius, diperkuat dengan tidak adanya sekretariat sementara yang digunakan untuk kegiatan organisasi. “Untuk apa dibangun seperti itu dengan menelan anggaran terlalu besar. Sementara pengurus organisasi ini tidak pernah kelihatan,” katanya. Ketua PDS Nunukan ini mengatakan, lebih baik anggaran tersebut dialihkan untuk kebutuhan masyarakat ketimbang dipergunakan bagi organisasi yang tidak eksis. “Lain halnya kalau organisasi ini eksis, tidak masalah dibuatkan bangunan sebagus itu,” ujarnya.

Proyek pembangunan Graha Pemuda Kabupaten Nunukan yang diperuntukkan bagi KNPI itu, melibatkan konsultan CV Mahakarya dan pelaksana PT Putra Sendra Pratama, dengan menelan anggaran dari APBD Nunukan tahun 2007 sebesar Rp7,054 miliar. Proyek itu dikerjakan sejak 31 Juli 2007 dengan masa pekerjaan mencapai 500 hari kalender. Kornelius berharap, kedepan untuk melaksanakan pembangunan Pemkab Nunukan bisa lebih jeli. “Kan Pemkab itu ada urusan pilihan dan urusan wajib. Jadi yang wajib yang harus diprioritaskan, jangan yang tidak beres seperti ini,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Nunukan Haji Hermansyah menambahkan, penempatan bangunan itu sangat tidak strategis. Masalahnya, akses jalan ke gedung KNPI kabupaten Nunukan, sangat buruk. “Kalau kita melihat, posisi bangunan kantor kelihatannya kurang strategis. Kantor KNPI ini berkaitan dengan pelayanan kepada organisasi pemuda, apalagi itu untuk suatu tempat pertemuan,” ujar mantan ketua KNPI kecamatan Nunukan ini. Hermansyah mengatakan, harusnya lokasi pembangunan gedung berada di tengah kota. “Kalau kita lihat lokasi itu, mungkin gedung tersebut baru bisa terpakai empat atau lima tahun ke depan. Masalahnya, gedungnya dibangun di ujung kampung. Tidak tepat itu posisinya,” katanya. Seharusnya, kata Hermansyah, dinas terkait menyusun program yang proposional dengan perencanaan yang baik. Sehingga jika harus membangun gedung, itu bisa dimanfaatkan oleh semua pihak.
Terkait akses jalan itu, ia mengatakan, karena lokasi pembangunan gedung sudah kebabalasan, mau tidak mau Pemkab harus menganggarkan pembangunan jalan itu dalam APBD perubahan tahun 2008. “Jangan membuat jalan baru lagi. Ini belum selesai, kemudian buka jalan baru lagi yang pemanfaatannya barangkali memakan waktu yang cukup lama,” katanya.

Baca Selengkapnya......

Hutan Lindung (HL) Nunukan Harus Dikawal

Selasa, 25 November 2008
Hutan Lindung (HL) di Pulau Nunukan sudah semakin terancam keberadaannya. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan adalah salah satu penyebab musnahnya hutan lindung di daerah tersebut. Para wakil rakyat yang tinggal di Pulau Nunukan kian gelisah. Setidaknya itu yang dialami Wakil Ketua DPRD Nunukan Abdul Wahab Kiak dan Victor Ola Tokan. Keduanya bertekad untuk terus mengawal agar hutan yang tinggal sedikit itu terselamatkan. Wahab Kiak, termasuk yang dikenal gigih berbicara soal hutan lindung (HL). Ia menilai kesalahan kebijakan pada jaman baheula, diteruskan oleh pemerintahan sekarang. ”Kebijakan Pemkab tidak pro lingkungan,” kata Wahab. Ia mencontohkan, kebijakan Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk membuka akses jalan di kawasan HL Pulau Nunukan. Walau pemerintah beralasan untuk membuka isolasi transportasi di Pulau Nunukan yang juga adalah Ibu Kota Kabupaten Nunukan, menurut Wahab, alasan itu adalah alasan yang mengada-ada. Kebijakan itu justru meresahkan masyarakat Pulau Nunukan, karena bakal mempercepat kehancuran HL yang menjadi sumber air bersih warga. “Sebagai wakil rakyat kita sepakat dengan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tapi tidak kemudian pemerintah harus mengabaikan aturan dan ancaman sosial yang akan menimpa pada anak cucu kita,“ kata Wahab kepada BONGKAR. Wahab yang keturunan suku Tidung itu mengaku terganggu dengan kebijakan Pemkab memperlakukan HL. “Dampaknya yang akan menerima ya kami-kami ini,” kata Wahab.

Sementara anggota DPRD Nunukan dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Victor Ola Tokan juga menilai kebijakan pemerintah membuka akses jalan di kawasan HL, tidak punya landasan apa-apa. “Alasan membuka jalan untuk kepentingan rakyat, saya mau tanya kepentingan rakyat yang mana,“ kata pensiun Polisi Kehutanan itu. Victor menyesalkan kerja tim tekhnis Pemkab Nunukan, mengapa tidak melakukan telaah hukum terlebih dulu sebelum memutuskan. ”Aturan masalah kehutanan saya rasa cukup jelas. Lain halnya kalau tidak dibaca oleh pemerintah di daerah ini (Nunukan-red). Kalau dibaca, saya yakin kesalahan tersebut tidak mungkin terjadi, ”keluh Victor seraya mengatakan menyangkut HL adalah domain Menteri Kehutanan. Wahab maupun Victor memang termasuk yang paling geram melihat kebijakan membuka jalan di kawasan HL Nunukan. Menurut kedua politisi itu, kegiatan pembukaan jalan tersebut di samping merusak ekosistem yang ada, ancaman lainnya adalah mengeringnya sumber air Sungai Bolong yang buat masyarakat Nunukan adalah jantung dari kehidupan mereka. ”Pembukaan jalan tersebut hanyalah kebijakan yang berpihak pada pengusaha dan bukan rakyat. Sekarang apa yang harus dilakukan pemerintah berkaitan dengan bendungan di Sungai Billal yang juga dibangun pemerintah, tapi airnya mengering sekarang. Mau alasan faktor alam,” tanya Victor.

Victor memang sudah cukup lama meneriaki niat pemerintah untuk membuka jalan di kawasan HL itu. Pertimbangan Victor maupun beberapa anggota DPRD Nunukan atas kebijakan Bupati Hafid itu, lebih kepada bagaimana efektifitas program dan tidak menghancurkan daerah baik dari sisi anggaran maupun lingkungan. ”Saya harap pemerintah melihat persoalan tersebut secara benar dan bukan karena kepentingan atau karena kekuasaan. Berkaitan dengan HL yang sering disuarakan oleh anggota dewan maupun elemen masyarakat Nunukan, saya harap harus dikawal,” harap Victor. Pemkab Nunukan melalui Kepala Dinas PU Azis Muhamadyah selama ini beralasan kalau pembangunan proyek jalan di HL itu untuk menjaga keutuhan hutan. ** thomas djuma, adv

Sumber : www.bongkar.co.id

Baca Selengkapnya......

Senin, 02 Februari 2009

Hak Adindo Pernah Dicabut Menteri Kehutanan

Terkait Tumpang Tindih Lahan Warga dan Perusahaan

NUNUKAN-- Wakil ketua DPRD Nunukan Abdul Wahab Kiak menduga, Bapedalda Nunukan melaksanakan proyek reboisasi di areal perusahaan HPHTI PT Adindo Hutani Lestari (AHL), di Desa Mambulu, Kecamatan Sembakung, karena saat itu hak perusahaan atas lahan tersebut sudah dicabut Menteri Kehutanan RI. Belakangan, setelah hak itu dikembalikan, ternyata muncul masalah. Ratusan ribu pohon proyek reboisasi itu, dibabat habis perusahaan dengan alasan masih berada di lahannya. “Memang hak Adindo pernah dicabut beberapa bulan. Tapi setelah dicabut kan ada upaya banding. Mereka (Bapedalda,Red) menganggap setelah putusan tingkat pertama, Adindo sudah tidak ada lagi. Seharusnya sampai putusan hukum yang pasti,”ujarnya. Kesalahan lainnya, kata Wahab, dalam melaksanakan proyek itu tidak ada perencanaan wilayah. “Itu kan perlu diketahui, masuk wilayah siapa?. Seharusnya kan planologi turun, harus membuat peta. Disini ada Dinas Kehutanan, ada UPTD Kehutanan, ada Planologi di Tarakan, kan itu bisa mengukur, apa sih susahnya?,”katanya.
Akibatnya, kata Wahab, belakangan muncul pula sengketa lahan antara masyarakat yang mengerjakan reboisasi dengan pihak perusahaan yang merasa lahannya di caplok.
Pada kesempatan itu, Wahab juga membeberkan sejumlah perubahan luasan lahan miliki Adindo. Hal itu bisa dijadikan dasar bagi Pemkab Nunukan, jika ingin berperkara dengan anak perusahaan Raja Garuda Mas itu.

Wahab menjelaskan, semula perusahaan itu mengantongi izin dari Menteri Kehutanan pada tahun 1992 silam, yang ditandatangani Hasjrul Harahap. Perusahaan itu memperoleh ijin HPHTI seluas 300 ribu hektar, yang saat itu diberikan kepada PT. Adindo Foresta Indonesia (AFI). “Tahun 1996, PT AFI bergabung dengan PT Inhutani dan namanya diganti menjadi PT Adindo Hutan Lestari (AHL) atas keputusan Menhut no 88/kpts-II/1996 di tandatangani oleh Menhut Djamaludin Suryohadi Kusumo 12 maret 1996,”jelasnya. Dengan perubahan itu, luasan lahan yang berikan di Kaltim hanya seluas 201.821 hektar. Belakangan, jelasnya, setelah dilakukan telaahan ulang terhadap dokumen yang terkait HPTI, ternyata ada kekeliruan yang substansif. “Karena itu, terbitlah Kepmenhut Nomor 60/kpts-II/2003, dengan areal lahan hanya sekitar 109.947 hektar,”ungkapnya. (noe)

source : www.korankaltim.com

Baca Selengkapnya......

Bupati Nunukan Dilaporkan ke KPK

Terkait Kasus Alih Fungsi Lahan untuk Perkebunan dan Pembangunan Jalan


NUNUKAN-- Dua mahasiswa asal Nunukan melaporkan Bupati Nunukan ,Abdul Hafid Ahmad ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kebijakan bupati yang mengeluarkan ijin alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan dan pembangunan jalan, termasuk kebijakan pemberian ijin perkebunan yang menyebabkan terjadinya illegal logging. Di KPK, kedua mahasiswa diterima staf KPK, Moelyono. “Benar, ada mahasiswa yang melaporkan Bupati Nunukan ke KPK terkait alih fungsi lahan dan illegal logging. Tapi kami minta nama mahasiswa ini tidak dipublikasikan untuk keamanan mereka,” kata A Rahmat Kusuma, Koordinator Umum Indonesian Guard (IG) For Forest and Mountain, Jakarta, yang ikut mendampingi mahasiswa tersebut. Untuk membuktikan ucapannya itu, Rahmat menunjukkan selembar tanda terima laporan. Menurutnya, mahasiswa itu melaporkan Bupati Nunukan karena diduga telah melakukan pelanggaran dalam alih fungsi lahan di Nunukan baik untuk perkebunan maupun untuk pembangunan jalan termasuk illegal logging.
“Kan sudah jelas, Menteri Kehutanan pernah mengatakan kepada aparat untuk mengusut pemerintah daerah yang mengalih fungsikan lahan tanpa ijin,” katanya.
Dikatakannya, tidak mungkin menanam kelapa sawit di tengah hutan, dilahan yang masih termasuk Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), seperti yang terjadi di Nunukan. Ia memprediksi, kasus alih fungsi lahan yang terjadi di Riau, besarnya hanya sekitar 10 persen dari yang terjadi di Nunukan. “ Ini bukan hanya alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan dan jalan saja, tapi ada kegiatan illegal loggingnya. Hutan dibabat untuk kelapa sawit, tapi batangannya dimana?, mana kayunya?,” tanya dia.
Dari data IG jelasnya, sedikitnya ada 23 perusahaan yang mendapatkan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). “Apakah layak KBK ditanami sawit?. Tapi bupati Nunukan telah mengeluarkan IPK sampai 23 perusahaan,”katanya.

Ia menegaskan, pengalih fungsian lahan hutan untuk perkebunan tidak bisa dilakukan di kawasan hutan lindung. “Jadi itu tidak boleh. Karena dalam aturan itu sudah jelas, mana yang bisa ditanami untuk perkebunan dan mana yang tidak boleh,” katanya.
Ia juga menyoroti sejumlah pemberian ijin perkebunan yang tumpang tindih. Misalnya saja, katanya bupati mengeluarkan ijin perkebunan kelapa sawit di hutan kepada PT Tunas Mandiri Lumbis. Namun pada lahan yang sama, bupati juga merekomendasikan petani menananam di lahan yang sama pula dengan bantuan dana bergulir. Selain itu katanya ada pula lahan perkebunan yang dikeluarkan di lahan PT Adindo Hutani Lestari yang berpotensi menimbulkan konflik. Dikatakannya, kasus alih fungsi lahan di Nunukan menjadi perhatian khususnya sejumlah LSM lingkungan, sebab sebagai daerah perbatasan yang menjadi pintu gerbang Indonesia, Nunukan menjadi contoh bagaimana pengelolaan hutan di Indonesia.
Pihaknya sendiri dalam waktu dekat bersama LSM lain seperti Walhi dan Greenpeace akan ke Nunukan untuk melakukan investigasi lapangan lebih lanjut terkait kasus tersebut.
“Ini semuanya akan kami sampaikan kepada Menteri Kehutanan. Kalau bupati tidak bersalah, kami mendukung program alih fungsi lahan yang dilakukan Bupati Nunukan, tapi kalau itu salah harus di ambil tindakan hukum,” katanya. Pada kesempatan itu Rahmat menambahkan, selain melaporkan kasus alih fungsi lahan ke KPK, laporan yang sama juga telah disampaikan ke Kejaksaan Agung. (noe)
Sumber :www.korankaltim.com

Baca Selengkapnya......

”Pak Kapolri, di Nunukan Banyak Kasus Dipetieskan”

Sumber : Harian Bongkar
Edisi : Kamis, 18 Desember 2008

Dugaan suap pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan kepada dua oknum polisi dari Satuan Tipikor Polda Kaltim, menjadi momentum untuk membuka lagi kasus-kasus korupsi yang macet ditangani polisi. SURAT terbuka disampaikan oleh Mubarok, warga yang mengaku tinggal di Balikpapan. Ia melayangkan surat pengaduan kepada Mabes Polri dan juga KPK di Jakarta. Judul surat pengaduannya cukup menyeramkan. Mubarok membuka dengan kalimat; ”Konspirasi Polisi-Pejabat Nunukan Mempetieskan Kasus-kasus Dugaan Korupsi”. Tak lupa ia juga menyertakan berita-berita kliping koran, serta beberapa dokumen. Dan, entah bagaimana ceritanya, salah satu fotokopi berkas itu sampai ke meja redaksi BONGKAR. Mubarok dengan gamblang membuka setidaknya ada empat kasus dugaan korupsi yang perkaranya macet di Polres Nunukan atau Polda Kaltim dan kejaksaan. Kasus-kasus itu sudah pernah menjadi konsumsi publik karena diberitakan media-media, dan bahkan telah disidik sejak tiga tahun silam. Bahkan polisi telah menetapkan tersangkanya. Tiga kasus pertama yang diangkat Mubarok adalah menyangkut alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, jalan dan percetakan sawah. Kasus pertama terjadi di kawasan hutan Simenggaris, di mana Pemkab Nunukan diduga memberikan rekomendasi kepada 4 perusahaan untuk membuat perkebunan, tanpa ada izin perubahan status lahan dari Menteri Kehutanan. Semula, status lahan adalah KBK (kawasan budidaya kehutanan), tapi kemudian diubah menjadi Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK). Sedangkan keempat perusahaan masing-masing PT Nunukan Jaya Lestari (NJL 17.413 hektare), PT Sebakis Inti Lestari (SIL 20.000 hektare), PT Sebuku Inti Plantation (SIP 20.000 hektare) dan PT Pohon Emas Lestari (PEL 3.000 hektare). Kawasan yang diubah statusnya tanpa izin Menhut itu terletak di dekat garis batas negara Indonesia - Malaysia. Hutan yang dilandcleearing sekira 70.413 hektare dan tergolong masih lebat, sehingga diperkirakan kerugian negara akibatnya sekitar Rp150 Miliar.

Kasus ini sempat menjadi polemik di media dan kemudian ditangani Kejaksaan Tinggi Kaltim. Tapi, pemberkasan tidak pernah selesai sampai aparat yang menangani kasus itu waktu itu Asintel A Sinaga pindah tugas menjadi Kajari Medan Sumatera Utara. Kalangan DPRD Nunukan juga menjadi ikut blingsatan, karena disebut-sebut oleh Pemkab merestui perubahan status lahan itu dengan membuat surat dukungan Nomor 522.12/295/DKB-1/IX/2005, tertanggal 15 September 2005. Tapi Ketua DPRD Nunukan, Ngatijan Ahmadi waktu itu menjelaskan kalau pihaknya belum pernah menerbitkan surat dukungan kepada Bupati Nunukan, Abdul Hafid Achmad. Begitu pula Wakil Ketua DPRD Nunukan, Abdul Wahab Kiak. Entah bagaimana kelanjutan penyelidikannya, ternyata kasus itu tenggelam begitu saja seiring berjalannya waktu. Warga Nunukan juga seolah-olah dibimbangkan bahwa keadilan di Nunukan ternyata tak mampu ditegakkan.

Kasus alih fungsi lahan kedua, terjadi di Hutan Lindung Nunukan. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan membangun jalan di dalam kawasan hutan lindung, tanpa adanya izin dari Menteri Kehutanan. Kasus ini pernah akan diseriusi oleh Polres Nunukan yang waktu itu Kapolresnya AKBP Sang Made Mahendra Jaya, namun ternyata tidak juga ada kelanjutannya. Kepala Dinas PU Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah mengakui pembukaan jalan di hutan lindung Nunukan, tidak dilengkapi ijin pinjam pakai dari menteri kehutanan. Padahal, pekerjaan itu sudah selesai dilaksanakan.

Sedangkan kasus alih fungsi hutan ketiga menyangkut proyek pembuatan percetakan sawah di Desa Atap Sembakung. Waktu itu, Kepala Dinas PU Nunukan, Azis Muhammadiyah, tanggal 30 November 2005, mengeluarkan surat penunjukan pelaksanaan pekerjaan kepada PT Tuberki untuk melakukan pekerjaan pembangunan jaringan irigasi dan percetakan sawah Desa Atap, Kecamatan Sembakung. Dalam waktu yang bersamaan, Azis juga menandatangani surat perintah mulai kerja (SPMK). Sebelumnya, dalam kasus tersebut polisi telah menahan direktur PT Tuberki bernama Ayang Efendi. Ayang ditahan karena kegiatan yang dilakukan pada Desember 2005-5 Maret 2007 itu dianggap melanggar pasal 50 ayat (3) huruf ‘e’ Jo pasal 78 ayat (2),(4),(5),(8),(13) UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. PT Tuberki melaksanakan proyek pekerjaan jaringan irigasi dan percetakan sawah di Desa Atap, Kecamatan Sembakung setelah memenangkan tender. Proyek itu didanai secara multiyears melalui APBD Nunukan tahun 2005 hingga 2010 dengan nilai kontrak Rp29,706 miliar. Adapun waktu pelaksanaan mencapai 1825 hari kalender sejak diterbitkannya SPMK.

Lahan seluas 500 hektar untuk pekerjaan tersebut, 250 hektar diantaranya termasuk dalam kawasan budidaya non kehutanan (KBNK) sedangkan sisanya masuk kawasan budidaya kehutanan (KBK). Pekerjaan proyek itu sendiri dilakukan sebelum perubahan status kawasan itu mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan. Polisi sudah menetapkan Azis Muhammadyah sebagai tersangka kasus tersebut. Beritanya juga telah menyebar di surat-surat kabar. Anehnya, meskipun Azis telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Nunukan, namun berkas perkaranya tidak pernah masuk ke kejaksaan.

"Bagaimana mau P-21 (dinyatakan lengkap) sedangkan SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) saja belum pernah kami terima," kata Suleman Hajrati, Kajari Nunukan. Sementara untuk kasus keempat adalah kasus proyek jalan Aji Kuning – Bambangan sepanjang 19,5 Kilometer. Jalan ini persis di dekan garis batas Indonesia – Malaysia di Pulau Sebatik.

Polisi juga melakukan pemeriksaan dan menetapkan tersangkanya. Puluhan saksi dimintai keterangannya, tapi kasus itu tenggelam lagi walau pers memberitakan terus menerus. (untuk kelengkapan kasus ini baca artikel lainnya). Pada suratnya Mubarok berharap Mabes Polri atau KPK turun secara langsung menindaklanjuti kegelisahan hati rakyat, karena kasus-kasus tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Ia juga menyarankan kalau memang kasus-kasus tersebut tidak cukup bukti, semestinya diumumkan kepada publik bahwa lantaran tak cukup bukti maka polisi melakukan penghentian penyidikan (SP3). *ch siahaan

Baca Selengkapnya......
Mari Membangun Dengan Menghormati Hak-Hak Rakyat dan Hak-Hak Alam